Bertempatdi Gedung Pusat lantai 7 Universitas PGRI Semarang. Teater Gemma menyajikan dua kali pementasan, yaitu pada pukul 15. 00 dan 19. 00 dengan lakon yang sama. Lakon Jaka Tarub ini dirasa mampu untuk memberi contoh kepada masyarakat muda khususnya untuk menemukan kembali jati diri mereka. Memberikan contoh betapa pentingnya arti kejujuran.
ArticlePDF AvailableAbstractThe paper examines the transformation of “Jaka Tarub”, a folktale contained in Babad Tanah Jawi, into the play Jaka Tarub by Akhudiat. Jaka Tarub by Akhudiat is a two-act play that is parodic in style. The play won the 1974 Jakarta Arts Council Playwriting Competition. The aim of the paper is to study how the tale is interpreted and reconstructed into Indonesian contemporary literature. The transformation of the tale is analyzed from a new historicist perspective. The analysis suggests that the history of a nation can be read through its literature since New Historicism sees that texts and history are always, inevitably, interrelated. Based on such a perspective, there is no longer such a thing as a single absolute “historical reality”. Instead, there are always different versions and perspectives to history. Akhudiat’s reinterpretation and reconstruction of the folktale represents Indonesia in the 1970s. Seen in this light, an Indonesian literary text that reflects history can be regarded as another version of history. Thus, New Historicism offers an appropriate approach to study such a literary text because it is through a New Historicist approach to reading that realities unwritten in mainstream texts of history become accessible to the reader or audience. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. 37 REINTERPRETASI DAN REKONSTRUKSI DONGENG JAKA TARUB DALAM DRAMA KARYA AKHUDIAT SEBUAH PEMBACAAN NEW HISTORICISM Reinterpretation and Reconstruction of Jaka Tarub Tale in Akhudiat’s Play A New Historicism Reading Lina Meilinawati Rahayu, Aquarini Priyatna, Rasus Budhyono Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21 Hegarmanah, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat 45363 Posel Naskah diterima tanggal 11 Desember 2018—Direvisi tanggal 24 Juni 2019—Disetujui tanggal 30 Juni 2019 Abstract The paper examines the transformation of “Jaka Tarub”, a folktale contained in Babad Tanah Jawi, into the play Jaka Tarub by Akhudiat. Jaka Tarub by Akhudiat is a two-act play that is parodic in style. The play won the 1974 Jakarta Arts Council Playwriting Competition. The aim of the paper is to study how the tale is interpreted and reconstructed into Indonesian contemporary literature. The transformation of the tale is analyzed from a new historicist perspective. The analysis suggests that the history of a nation can be read through its literature since New Historicism sees that texts and history are always, inevitably, interrelated. Based on such a perspective, there is no longer such a thing as a single absolute “historical reality”. Instead, there are always different versions and perspectives to history. Akhudiat’s reinterpretation and reconstruction of the folktale represents Indonesia in the 1970s. Seen in this light, an Indonesian literary text that reflects history can be regarded as another version of history. Thus, New Historicism offers an appropriate approach to study such a literary text because it is through a New Historicist approach to reading that realities unwritten in mainstream texts of history become accessible to the reader or audience. Keywords reinterpretation, reconstruction, folktale, transformation PENDAHULUAN Jaka Tarub adalah salah satu cerita rakyat dari Jawa Tengah. Mengisahkan pemuda gagah yang konon memiliki kesaktian. Ia sering keluar masuk hutan untuk berburu di kawasan gunung keramat. Di gunung itu terdapat sebuah telaga. Tanpa sengaja, ia melihat dan kemudian mengamati tujuh bidadari sedang mandi di telaga tersebut. Karena terpikat oleh para bidadari tersebut, Jaka Tarub mengambil salah satu selendang milik salah seorang bidadari. Ketika para bidadari selesai mandi, mereka siap kembali ke kahyangan. Salah seorang bidadari -karena tidak menemukan selendangnya- tidak dapat kembali. Dia ditinggalkan kawan-kawannya. Jaka Tarub lalu muncul untuk menolong. Bidadari yang bernama Nawang Wulan itu bersedia ikut pulang ke rumah Jaka Tarub karena hari sudah senja. Singkat cerita mereka menikah dan memiliki seorang putri yang dinamai Nawangsih. Sebelum menikah, Nawang Wulan membuat kesepakatan dengan Jaka Tarub agar tidak bertanya tentang apa pun kebiasaannya setelah menjadi istri. Salah satu rahasinya adalah menanak nasi hanya dengan satu butir beras, tetapi dari satu butir itu menghasilkan nasi yang banyak dan cukup untuk makan sekeluarga. Jaka Tarub sangat penasaran, tetapi tidak Suar Bétang Vol. 14, No. 1, Juni 2019, halaman 37—44 ISSN 1907-5650 38 menanyakan langsung. Diam-diam dia membuka tutup penanak nasi. Akibat, kesaktian Nawang Wulan hilang. Sejak itu ia harus menanak nasi seperti umumnya wanita begitu, persediaan beras di lumbung cepat habis. Ketika persediaan beras hampir, Nawang Wulan menemukan selendangnya di dasar lumbung yang disembunyikan oleh suaminya. Nawang Wulan marah dan kecewa mengetahui bahwa suaminya yang telah menyembunyikan selendangnya dan mengancam akan meninggalkan suaminya. Jaka Tarub memohon, tetapi Nawang Wulan tetap pergi meninggalkannya. Kisah Jaka Tarub memiliki banyak versi, namun versi yang standar, yang juga tertera dalam Babad Tanah Jawi sebagaimana tertera pada Babad Tanah Jawi, memiliki alur sebagai dalah yang sudah dipaparkan di atas. Jaka Tarub merupakan salah satu cerita rakyat folklore di Tanah Jawa. Kapan cerita ini lahir tidak dapat diketahui secara pasti. Sebagaimana umumnya, folklor bersifat anonim dan menjadi milik bersama dari masyarakat tertentu. Hal ini diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi sehingga setiap anggota masyarakat yang bersangkutan merasa memilikinya Danandjaja, 2002. Danandjaja 2002 menyebutkan bahwa folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Begitu pun kisah Jaka Tarub. Namun, akan hal ini Saini menegaskan bahwa peristiwa-peristiwa yang tidak masuk akal tidak perlu dipedulikan benar karena manfaat atau nilai cerita tidak terganggu. Di samping itu, peristiwa-peristiwa aneh itu sering merupakan perlambang. Yang dimaksud perlambang oleh Saini tentu berkaitan dengan tanda-tanda yang dapat dimaknai lebih lanjut. Karya sastra yang memanfaatkan mitologi sudah berlangsung lama. Menurut Damono, sastra mendasarkan dirinya pada mitologi agar, di samping padat, mampu menjangkau khalayak yang sejak ribuan tahun lamanya sudah dibentuknya. Prometheus, Venus, Oedipus, dan Elektra –misalnya saja- menjadi sangkutan begitu banyak karya sastra yang dihasilkan bangsa-bangsa Eropa, yang kemudian menjangkau kesusastraan bangsa-bangsa lain. Dalam pandangan demikian boleh dikatakan bahwa pada dasarnya sastra adalah kelanjutan mitologi. Dalam tulisan lain, Damono, 2005 menjelaskan bahwa sastra agar bisa menjadi alat komunikasi yang efektif harus menyangkutkan diri pada mitologi. Dalam kesusastraan Indonesia beberapa pengarang memanfaatkan mitologi dalam karya-karyanya. Beberapa contoh bisa disebutkan antara lain Seno Gumira Adjidarma Wisanggeni, Mangunwijaya Roro Mendut, Ajip Rosidi Roro Mendut, Saini Ken Arok, Pramudya Ananta Toer Arok Dedes, Gunawan Muhamad Tentang Sinterklas, Sindhunata Anak Bajang Menggiring Angin, dan banyak lagi. Menurut Junus, 1981 karya sastra mungkin bertugas mengukuhkan mitos tersebut atau justru sebaliknya merombaknya. Berdasarkan uraian di atas, karya sastra yang memanfaatkan mitologi cukup banyak dan penelitian terhadapnya menjadi penting. Karena mitologi sudah dikenal luas dalam masyarakat, bisa diduga ada ―sesuatu‖, boleh jadi ideologi yang ingin disampaikan. Secara ringkas paling tidak dapat disebutkan dua hal yang menyebabkan karya sastra yang memanfaatkan mitologi penting untuk dikaji. Pertama, bagaimana pengarang memanfaatkan mitologi dalam karyanya. Apakah mitologi tersebut dimanfaatkan untuk dikukuhkan atau sebaliknya. Kedua, apakah maksud ideologis pengarang dengan memanfaatkan mitologi tersebut. Yang akan dijadikan objek dalam penelitian ini adalah drama Jaka Tarub karya Akhudiat yang mencantolkan dirinya pada kisah Jaka Tarub. Budianta mencoba melihat kontribusi New Historicism NH dalam sejarah kritik Rahayu, dkk. Representasi dan Rekonstruksi … 39 sastra di Barat dan apa yang ditawarkannya bagi kritik sastra Indonesia. Ada tiga pertanyaan yang coba dijawabnya dalam tulisan terkait kritik yang berkembang dalam dua dekade terakhir abad ke-20, kesatu, pembaharuan apa yang disumbangkan NH?, kedua, apakah NH menawarkan kemungkinan-kemungkinan baru bagi kajian sastra di Indonesia, dan ketiga, apa keterbatasananya? Dengan kata lain Budianta menjelaskan dengan terperinci tentang New Historicism. Greenblatt, 1989 melalui New Historicism menawarkan pembaharuan dalam bidang sejarah yang waktu itu masih dominan di Amerika. Dalam kaitan dengan penelitian di Indonesia hal ini belum banyak dilakukan selain pandangan terhadap sejarah masih mainstream. Artinya, teks lain yang juga menggungkapkan sejarah secara lebih benderang diabaikan karena dianggap fiksi. Selama ini, sejarah masih diliihat dari kacamata penguasa. Di bawah ini terlebih dahulu akan diuraikan penelitian-penelitian yang memakai pendekatan New Historicism dalam berbagai artikel dalam jurnal. Barry, 2002 menekankan bahwa teks-teks sastra dan nonsastra semuanya merupakan produk budaya. New Historicism merupakan pendekatan kritik sastra yang menekankan keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkupinya. Pendekatan ini memungkinkan para peneliti memiliki peluang untuk memeriksa teks-teks sastra juga teks-teks nonsastra yang merepresentasikan persoalan yang sama. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa semua teks selalu merepresentasikan zamannya termasuk karya sastra dalam hal ini teks drama. Seperti yang dikemukakan Foucault, 2011 bahwa semua teks, termasuk wacana akademis suatu zaman atau representasi suatu zaman, muncul karena kondisi zamannya. Sastra tidak dapat lagi dipandang sebagai sesuatu yang keluar dari sejarah dan terapung di udara seperti sebuah entitas yang terasing dan terpisah. Sastra tidak lahir dari kekosongan dan tidak jatuh dari langit. Hal ini sejalan dengan pendapat Greenblatt, 2005 menegaskan bahwa dunia yang digambarkan dalam karya sastra bukanlah sebuah dunia alternatif, melainkan sebuah cara mengintensifkan dunia tunggal yang kita huni. Dalam mengkaji jaringan tersebut, new historicism menekankan dimensi politis ideologis produk-produk budaya. Dengan demikian, sejalan yang dikemukakan Budianta 2006 sejarah, sastra, monumen, potret, mode, uang adalah bagian dari sistem tanda yang mewakili dan sekaligus menghadirkan kembali sesuatu di luar dirinya dengan menyusun dan memilih tanda-tanda dalam sistem yang ada. Dengan demikian, melihat konstruksi Indonesia dalam sastra drama dan membandingkan dengan teks nonfiksi akan merepresentasikan kondisi Indonesia ketika karya itu terlahir. METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Yang dideskripsikan adalah data-data dalam cerita berupa perubahan-perubahan atau perbedaan-perbedaan dari dongeng Jaka Tarub ke Drama Jaka Tarub. Metode ini dipakai karena penelitian ini menafsirkan dan menguraikan data yang ada dalam Drama Jaka Tarub karya Akhudiat. Di dalam drama ini terdapat peruntuhan-peruntuhan atau interpretasi baru atas cerita yang selama ini dikenal. Perubahan dan perbedaan inilah yang akan ditafsir dan dideskripsikan. Metode ini digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dalam memecahkan masalah yang sedang dianalisis dengan memaparkan keadaan objek penelitian berdasarkan data yang muncul. Data yang ada di dalam teks dianalisis melalui kalimat atau paragraf yang dapat memberikan informasi mengenai perubahan-perubahan dan perbedaan-perbedaan antara dongeng dan drama. Suar Bétang Vol. 14, No. 1, Juni 2019, halaman 37—44 ISSN 1907-5650 40 Pengumpulan data dilakukan dengan metode pustaka melalui teknik baca, simak dan catat. Kemudian dibuat klasifikasi berdasarkan karakteristik data yang dibutuhkan. Penginterpretasian dilakukan dengan pendekatan new historicism yang menafsir setiap perubahan dengan peristiwa sejarah saat drama dibuat/diterbitkan. Penafsiran dilakukan dengan memaknai perubahan dengan melihat hubungan antara peristiwa dan kondisi historis yang di dalamnya beroperasi makna implisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Ia menciptakan makna baru yang dikontekstualisasi dengan waktu kini. PEMBAHASAN Akhudiat, dramawan nasional, aktif dalam Bengkel Muda Surabaya yang dikenal produktif era- 70-an. Bahkan lima naskah dramanya memenangkan hadiah pada lomba penulisan naskah drama Dewan Keseniaan Jakarta 1972 – 1977. Adapun lima naskah tersebut adalah Graffito tahun 1972, Jaka Tarub 1974, Rumah Tak Berasap Rumah Tak Beratap 1974, Bui 1975, dan RE 1977. Berkat kelima naskah dramanya tersebut, Akhudiat berkesempatan mengeyam pendidikan di International Writing Program, Universitas of Lowa, USA, pada tahun 1975. Teater pimpinan Akhudiat terkenal karena rombongan kentrungnya dengan sentuhan ―kekinian‖, baik dalam kostum dan teknik pemanggungan. Akhudiat dikenal memadukan unsur modern dan tradisional dalam pementasan-pementasannya. Di bawah ini akan dibahas drama Jaka Tarub Akhudiat, 1974 yang menjungkirbalikan cerita rakyat Jaka Tarub. Reinterpretasi dan Rekonstrusi Cerita Jaka Tarub Sudah dijelaskan di atas bahwa sastra tidak bisa dilepaskan dari mitologi yang merupakan sangkutan dari konsep dan gagasan yang dilahirkan dan dikembangkan manusia. Sastra mendasarkan dirinya pada mitologi agar di samping padat, mampu menjangkau khalayak yang sejak ribuan tahun lamanya sudah dibentuknya. Akhudiat dalam drama Jaka Tarub mencantolkan pada cerita rakyat/mitos Jaka Tarub. Namun, pengarang meruntuhkan bahkan menjungkirbalikan kisah klasik tersebut. Drama Jaka Tarub karya Akhudiat terdiri atas dua babak. Babak pertama, bercerita tentang siapa tokoh Jaka Tarub, bagaimana sepak terjang dan penampilannya. Diceritakan juga bahwa Nawang Wulan dan beberapa bidadari yang memerkosa Jaka Tarub. Dalam babak satu ini banyak adegan-adegan konyol dilakukan para tokohnya. Babak dua bercerita tentang keberadaan tokoh Macan yang ingin memperkenalkan Nawang Wulan dengan seorang produser film yang ingin mempopulerkan Nawang Wulan menjadi aktris. Ternyata keinginan Nawang Wulan untuk menjadi aktris tidak mendapat tanggapan dari Jaka Tarub, bahkan ia menentang dan ingin membawa pergi Nawang Wulan. Pelukisan awal drama Jaka Tarub memang sedikit mengejutkan bagi pembaca yang sudah akrab dengan cerita Jaka Tarub. Tokoh Jaka Tarub dalam drama ini bukan gambaran tokoh Jaka Tarub yang sudah dikenal umum, tetapi seorang koboi. Begitu juga tokoh Nawang Wulan. Dalam bayangan pembaca, Nawang Wulan adalah bidadari yang cantik, lembut, dan kehilangan selendang saat mandi. Namun, dalam drama ini Nawang Wulan juga ditampilkan berbeda. Dia seorang wanita ambisius yang mengejar karier sebagai model dan aktirs. Di bawah ini bagaimana gambaran tampilan Jaka Tarub dan Nawang Wulan. JAKA TARUB Masuk ke tempat bermain. Berpakaian mode anak muda sekarang dan mencangklong ransel pelancong di punggung. Rahayu, dkk. Representasi dan Rekonstruksi … 41 NAWANG WULAN Masuk dari kiri. Pakaian over-all, bagian atas back-less. Mencangklong tas pelancong, siap melancong Dari kutipan di atas keduanya tampil layaknya pemuda masa kini. Jaka Tarub tokoh yang sengaja dibangunkan dalang, dia pun sudah bosan tinggal di museum. Ketika sang dalang memanggil untuk bermain, Jaka Tarub senang bukan main, seperti tampak dalam kutipan di bawah ini. JAKA TARUB Saya sumpek di museum, Kakek. Ketika kau panggil aku dan kau bangkitkan dari mati-wayang bukan kepalang girangku. Aku meregang dari himpitan kitab² tebal berdebu, meloncat lewat jendela belakang dan lari di semak² kayu kangkung. Dalam dongeng Jaka Tarub diawali dengan hilangnya selendang salah satu bidadari. Bidadari yang kehilangan selendang, Nawang Wulan, akhirnya bersedia ikut Jaka Tarub karena teman-temannya sudah meninggalkannya kembali ke khayangan. Nawang Wulan mengikuti kemauan Jaka Tarub untuk menjadi istrinya. Namun, dalam drama ini bidadarilah yang mengejar-ngejar Jaka Tarub dan memperkosanya. Dalang yang terlibat dalam cerita menjadi kebingungan dengan jalinan cerita yang tidak biasa ini. Penulis menarik tokoh Jaka Tarub dalam situasi ―kekinian‖. Jaka Tarub & Nawang Wulan main silat & yudo dengan seru. Diakhiri ketawa dalam salam tangan, pipi, bibir, pelukan, dan melantai mulai irama manis sampai jingkrak² rock. Musik. Dari Perang sampai Dansa. Dalam drama Jaka Tarub, Akhudiat tidak sekadar menawarkan hiburan kepada pembaca, tetapi juga menghadirkan hasil renungan yang dalam dan gayut dengan masalah sosial budaya. Tokoh dan peristiwa di dalamnya diubah oleh pengarang sedemikian rupa karena ada gagasan dan konsep yang ingin disampaikan. Di bawah ini akan dilakukan analisis gagasan-gagasan yang disampaikan pengarang dengan perubahan-perubahan tersebut. Drama Jaka Tarub Protes kepada Kondisi Sosial Tahun 70-an Proses penciptaan cerita baru berdasarkan dongeng klasik atau mitos merupakan hal yang biasa dipraktikkan para pengarang di mana pun. Di samping itu, mitos dan segala jenis dongeng lain bisa sering dijadikan acuan dalam karya sastra untuk mengungkapkan gagasan atau konsep tertentu tanpa harus mengungkapkannya dengan berbelit-belit karena sudah dikenal luas. Dalam khasanah sastra modern Indonesia, kisah mengenai Roro Mendut juga dijadikan dasar cerita oleh setidaknya dua sastrawan terkemuka kita, Ajip Rosidi dan Mangunwijaya. Kisah klasik mengenai cinta sejati dan abadi itu diolah kembali dan diberi latar gagasan baru yang sesuai dengan zaman ketika karya diciptakan. Dalam hal Karya Mangunwijaya, misalnya, segi feminisme dan perjuangan menegakkan keadilan menjadi jelas, suatu aspek yang di dalam cerita aslinya tidak ditonjolkan. Tahun 70-an kondisi politik di Indonesia yaitu bergantinya Orde Lama menjadi Orde Baru. Berharap perubahan yang lebih baik bagi kehidupan rakyat. Namun, dalam kepemimpinan Orde Baru mulai terasa ketimpangan sosial yang tidak juga surut dengan adanya perubahan poltik karena gugurnya Orde Lama. Bahkan ketimpangan sosial semakin lebar. Drama adalah jenis kesenian yang ditulis berdasarkan maksud untuk berbicara langsung dengan khalayak yang sedang mengalami masalah, dalam bentuk apa pun. Suar Bétang Vol. 14, No. 1, Juni 2019, halaman 37—44 ISSN 1907-5650 42 Kecenderungan ini sebenarnya tampak dalam hampir semua drama yang ditulis pada masa itu. Kekuasaan, politik, ketimpangan sosial, dan sebangsanya menjadi bahan utama dalam penulisan drama-drama tahun 70-an. Perubahan politik yang terjadi hanya memberi harapan sementara, sedangkan para seniman masih melihat begitu banyak masalah yang tidak terpecahkan dalam masyarakat. Itulah yang menjadi sumber yang sangat kaya bagi penulis drama kita. Dalam drama-drama tahun 70-an para dramawan menunjukkannya dalam berbagai cara. Mereka menyindir, mengejek, bahkan marah dalam menyampaikan amanat untuk mengingatkan kita semua akan masih adanya berbagai ketimpangan politik, ketimpangan sosial, dan dan semua yang berkaitan dengan itu menjadi bahan utama dalam penulisan drama Jaka Tarub karya Akhudiat. Dia menghidupkan tokoh klasik Jaka Tarub dalam dunia sehari-hari. Sindiran-sindiran pedas disampaikan dalam bentuk dialog juga koor nyanyian, seperti tampak dalam kutipan di bawah ini. DALANG Masya Allah.… Semadi Siluman segala siluman yang ngendon di terowongan Priok dan terowongan segala tanjung silakan angkat kaki atau digulung kembalilah jadi manusia kerja baik² sebagai pegawai negeri gajimu sudah mending ketimbang Dalang Kentrung. Kutipan di atas merupakan sindiran pada ―siluman‖ yang berkeliaran di Tanjung Priok. Sebuah pelabuhan besar yang menjadi pusat lalu lintas barang masuk dan barang keluar. Sebuah ladang strategis untuk perputaran uang yang sudah menjadi rahasia umum banyak siluman. Kondisi ekonomi Indonesia masa orde baru menitikberatkan sektor bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Namun Pelita VI yang diharapkan menjadi proses lepas landas Indonesia ke yang lebih baik lagi, malah menjadi gagal. Indonesia dilanda krisis ekonomi yang sulit di atasi pada akhir tahun 1997. Semula berawal dari krisis moneter lalu berlanjut menjadi krisis ekonomi dan akhirnya menjadi krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Kondisi ekonomi yang kian terpuruk ditambah dengan KKN yang merajalela, Pembagunan yang dilakukan, hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat. Karena pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata. Meskipun perekonomian Indonesia meningkat, tapi secara fundamental pembangunan ekonomi sangat rapuh. Dalam dijelaskan bahwa dampak negatif kebijakan ekonomi orde baru, yaitu 1 Kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam 2 Perbedaan ekonomi antardaerah, antargolongan pekerjaan, antarkelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam. 3 Terciptalah kelompok yang terpinggirkan Marginalisasi sosial 4 Menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang erat dengan KKN Korupsi, Kolusi dan Nepotisme 5 Pembagunan yang dilakukan hasilnya hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat, pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata. 6 Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan. 7 Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat tapi secara fundamental pembangunan ekonomi sangat rapuh. 8 Pembagunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang justru menjadi penyumbang devisa terbesar. Kondisi inilah yang kemudian menjadi bahan sindiran dalam drama Jaka Rahayu, dkk. Representasi dan Rekonstruksi … 43 Tarub. Kebobrokan yang terjadi dalam masyarakat karena kebijakan-kebijakan pemerintah. Salah satunya Indonesia harus impor, tapi beras yang dijual untuk masyarat kelas bawah kualitasnya buruk, seperti ditunjukkan dalam kutipan di bawah ini. JAKA TARUB Aku harus tahu. Sudah lama perutku protes kenapa nasi yang kau tanak bau dedak. NAWANG WULAN O berasnya impor sisa makanan kuda. JAKA TARUB Apa kita rakyat kelas di bawah jaran? NAWANG WULAN Sana tanya jagoan Tanjung Priok. Pengarang drama, Akhudiat, dengan sadar menyebutkan bahwa dramanya sebuah parodi. Karya parodi sengaja memelesetkan dari yang sebenarnya. Selain bertujuan untuk lucu-lucuan parodi juga lebih sering menyindir dengan cara yang kasar. Sindiran lebih sering ditujukan kepada pemerintah atas kebijakan-kebijakan yang dihasilkan. Kutipan di bawah menunjukkan sindiran pada pemerintah yang berutang. KOOR Nyanyi Dari barat sampai ke timur bikin proyek miniatur KOOR Dari s’latan sampai utara tanam padi tumbuh hutang Demikianlah, dengan ―memelintir‖ dongeng Jaka Tarub, Akhudiat ingin menyampaikan cara baru dalam memandang berbagai masalah sosial dan budaya yang terjadi pada saat itu. Akhudiat meminjam cerita rakyat sekaligus memanfaatkan teater tradisional Kentrung dalam menyampaikan pesannya. PENUTUP Gagasan-gagasan itu perlu agar kisah klasik tersebut bisa tetap memiliki kaitan dengan kehidupan modern. Tidak hanya itu sastrawan masa kini bisa menggunakan mitos sebagai landasan untuk memasukkan ideologinya. Tokoh dan peristiwa di dalamnya bisa diubah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan apa yang dikehendaki pengarangnya. Akhudiat menyampaikan gagasan-gagasan dalam mereaksi kondisi sosial dengan cara meminjam dongeng Jaka Tarub yang sudah dikenal luas. Dongeng itu diruntuhkan untuk menyampaikan ideologinya. Dengan demikian, teks sastra yang merefleksikan sejarah dapat diposisikan sebagai pembacaan sejarah dari versi yang lain. Suar Bétang Vol. 14, No. 1, Juni 2019, halaman 37—44 ISSN 1907-5650 44 DAFTAR PUSTAKA Akhudiat. 1974. Jaka Tarub. Surabaya Dewan Kesenian Jawa Timur. Barry, P. 2002. Beginning Theory An Introduction to Literary and Cultural Theory. Manchester Manchester University Press. Budianta, M. 2006. Budaya, Sejarah, dan Pasar New Historicism dalam PErkembangan Kritik Sastra. Jurnal Susastra, 23, 1-19. Damono, S. D. “Kelisanan dalam Keberaksaraan Kasus Puisi Indonesia Modern,” dalam Kalam Jurnal Kebudayaan, edisi 13. Damono, S. D. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Danandjaja, J. 2002. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta Grafiti. Foucault, M. 2011. Pengetahuan dan Metode Karya-Karya Penting Foucault. Yogyakarta Jalasutra. Greenblatt, S. 1989. Toward a Poetics of Culture. In The New Historicism. New York & London Routledge. Greenblatt, S. 2005. The Touch of The Real. In The Greenblatt Reader Stephen Greenblatt. Blackwell Publishing. Junus, U. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta Sinar Harapan. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this BudiantaBudayaDan SejarahPasarBudianta, M. 2006. Budaya, Sejarah, dan Pasar New Historicism dalam PErkembangan Kritik Sastra. Jurnal Susastra, 23, dalam Keberaksaraan Kasus Puisi Indonesia ModernS D DamonoDamono, S. D. "Kelisanan dalam Keberaksaraan Kasus Puisi Indonesia Modern," dalam Kalam Jurnal Kebudayaan, edisi Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan NasionalS D DamonoDamono, S. D. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lainJ DanandjajaDanandjaja, J. 2002. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta dan Metode Karya-Karya Penting FoucaultM FoucaultFoucault, M. 2011. Pengetahuan dan Metode Karya-Karya Penting Foucault. Yogyakarta a Poetics of CultureS GreenblattGreenblatt, S. 1989. Toward a Poetics of Culture. In The New Historicism. New York & London Routledge.
.